Tanah Angata: Ketika Negara Tidak Lagi Berdiri di Pihak Rakyat
Jika ketentuan tersebut ditegakkan, lahan yang telah digarap petani Angata sejak awal 2000-an jelas lebih layak dimasukkan ke dalam skema reforma agraria, ketimbang diserahkan kembali kepada entitas korporasi yang belum menyelesaikan tanggung jawab hukum dari masa lalu.
Kasus Angata seharusnya menjadi alarm keras bahwa konflik agraria di Indonesia tidak cukup diselesaikan dengan pendekatan mediasi administratif. Dibutuhkan keberanian politik, integritas hukum, dan keberpihakan yang jelas terhadap rakyat sebagai pemilik sah atas tanah yang mereka hidup di atasnya.
Mengapa Ini Penting?
Apa yang terjadi di Angata bukan hanya soal sengketa tanah. Ini adalah soal keadilan yang ditunda. Soal keberpihakan negara yang semakin kabur. Soal bagaimana hukum sering kali menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung masyarakat.
Jika negara terus memihak pada korporasi, membiarkan aparat digunakan sebagai alat tekanan, dan menutup mata pada suara petani—maka narasi reforma agraria hanya akan menjadi hiasan di atas kertas. Dan tanah, yang semestinya menjadi sumber hidup, justru berubah menjadi medan pertempuran.


Tinggalkan Balasan