Banyak orang pasti pernah merasakan rasa malu, takut, dan cemas ketika diminta untuk berbicara di hadapan publik. Perasaan-perasaan itu muncul karena pembicara terlalu fokus berasumsi terhadap reaksi-reaksi yang mungkin ditunjukkan pendengar ketika sang pembicara tampil. Tantangan terhadap perasaan-perasaan tersebut justru dapat dijadikan cara untuk menjalin koneksi dengan pendengar. Seperti dalam Workshop Public Speaking yang bertema “Transforming Anxiety into Authenticity,” Priska Sahanaya menjelaskan pada para siswa SMA Muhammadiyah 24 bahwa perasaan malu, takut, dan cemas merupakan perasaan yang universal bagi banyak orang sehingga cerita-cerita terkait perasaan tersebut dapat menjadi cerita yang menggugah hati antara pembicara dan pendengarnya.
Pada workshop yang diadakan pada 20 Oktober 2023 ini, Priska Sahanaya mengingatkan bahwa pendengar selalu dapat membaca gerak-gerik pembicara yang terkesan terlalu membuat-buat citranya di hadapan pendengarnya. Hal ini sesuai dengan penelitian tentang bagaimana otak bekerja memproses suatu informasi atau biasa dikenal dengan sebutan second conversation. Ketika seseorang mendapatkan informasi, cara orang tersebut berpikir dapat terlihat lebih cepat dari gestur atau ekspresi yang ditunjukkannya karena gestur dan ekspresi wajah termasuk ekspresi yang secara refleks ditunjukkan oleh tubuh, tidak seperti perasaan atau pikiran yang perlu diproses terlebih dahulu. Sehingga gestur tubuh yang ditampilkan pembicara terlihat tidak sejalan informasi yang pembicara coba sampaikan, pendengar akan lebih memperhatikan gestur tubuh sang pembicara dan bisa saja mengabaikan informasi yang disampaikan karena informasi dianggap tidak disampaikan dengan tulus kepada audiensnya.
Lalu bagaimana caranya seorang pembicara dapat menjadi pembicara yang autentik? Priska menyampaikan bahwa trik utamanya adalah menjadi pembicara yang terbuka, antusias untuk membangun koneksi dengan pendengar, dan bersemangat untuk bercerita juga mendengarkan pendengarnya.
Pembicara perlu terbuka untuk menceritakan perasaan dan pemikirannya kepada pendengarnya. Pembicara dapat berlatih dengan membayangkan bahwa apa yang akan disampaikannya merupakan hal-hal yang bisa dengan tenang disampaikan pada orang terdekat seperti kepada sahabat dan keluarga. Hal ini membuat hal yang disampaikan merupakan hal-hal yang ingin disampaikan dari hati ke hati.
Baca Juga
Lalu, pembicara tentunya perlu antusias untuk dapat terhubung dengan pendengarnya. Sebagaimana hal-hal yang disampaikan pembicara bukan tentang apa yang ingin disampaikannya, tapi tentang mengapa pembicara ingin menyampaikan hal-hal tersebut. Contohnya seperti menceritakan rasa takut dan cemas yang dialami pembicara ketika hendak mencoba hal yang baru di hidupnya. Cerita tersebut diupayakan dapat menarik perhatian pendengar karena pernah juga mengalami perasaan atau pengalaman yang sama. Dalam hal ini, pembicara perlu terus mempertahankan perhatian pendengar terhadap cerita yang disampaikannya, agar pendengar tidak mudah terbawa bernostalgia dengan ingatan-ingatan yang dimilikinya.
Terakhir, sebagaimana komunikasi antara pembicara dan pendengar perlu terjalin secara dua arah, pembicara perlu ekspresif dalam menunjukkan perasaannya untuk dapat menginspirasi pendengar sehingga dapat mengajak pendengar untuk secara terbuka bersedia juga untuk membagikan cerita yang dialaminya. Pembicara dapat menunjukkan ekspresi wajah dan intonasi suara yang tenang dan lembut. Pembicara juga perlu memperhatikan dan beradaptasi dengan cara menanggapi cerita pendengarnya dengan baik. Dengan demikian, baik pembicara dan pendengar akan mendapatkan pembelajaran yang bermanfaat dari diskusi yang dijalankan.
Tidak lupa pada sesi workshop tersebut Priska Sahanaya mengajak para siswa untuk aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan Priska dan juga mencoba untuk mempraktikkan cara-cara untuk menjadi pembicara yang autentik. Siswa yang aktif akan mendapatkan poin dan di akhir siswa dengan poin terbanyak akan mendapatkan hadiah berupa medali penghargaan dari Priska.
Rafael, salah satu siswa SMA Muhammadiyah 24, memberikan kesannya mengenai workshop karena menurutnya workshop telah membantunya untuk lebih percaya diri lagi dalam menyampaikan gagasan dan ide yang ingin disampaikannya di hadapan umum. “Public speaking memberi kontribusi dalam meningkatkan kualitas diri. Kita dapat meningkatkan rasa percaya diri dengan belajar public speaking. Sekarang, saya merasa lebih siap dan tidak gampang grogi saat harus mempresentasikan ide atau gagasan,” kata Rafael.
Guru-guru pun turut merasa sangat terbantu dengan diadakannya...