PERMATA Indonesia Desak Kepastian Hukum Pertambangan di Pesisir dan Pulau Kecil
Konsekuensi dari ambiguitas makna tersebut terjadi dalam penggunaan sejumlah pasal di dalamnya sebagai dasar untuk menghentikan operasi tambang yang sudah berjalan.
Polemik dimulai ketika Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 35 huruf K yang ditafsirkan sebagai larangan tanpa syarat terhadap kegiatan pertambangan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya No. 57 P/HUM/2022. Sementara itu, Mahkamah Konsitusi (MK) melalui pertimbangan dan putusannya Nomor 35/PUUXXI/2023 menyatakan tidak demikian.
Ahli Hukum Tata Negara yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Aan Eko Widiarto, SH., M.Hum. menilai kejelasan penafsiran hukum menjadi kunci dalam memberikan kepastian hukum. UU PWP3K ini seharusnya dibaca sebagai aturan yang memperbolehkan kegiatan pertambangan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan persyaratan yang berlaku.
Dirinya menjelaskan, dalam memaknai Pasal 23 ayat 2 UU PWP3K, maka perlu memaknai operator norma pada pasal tersebut, yakni kata “diprioritaskan” secara metode harfiah. Arti kata “prioritas” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “didahulukan dan diutamakan dibanding yang lain”.


Tinggalkan Balasan