Peristiwa

Penjelasan BKSDA Sultra Soal Polemik Lahan Konservasi di Desa Kalo-kalo Konsel

×

Penjelasan BKSDA Sultra Soal Polemik Lahan Konservasi di Desa Kalo-kalo Konsel

Sebarkan artikel ini
BKSDA Sultra
Sakrianto Djawie (kanan) dok. metrokendari.com

METROKENDARI.COM – Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Sakrianto Djawie, angkat bicara soal polemik lahan yang terjadi di Desa Kalo-kalo, Kecamatan Lainea, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel).

Menurut Sakri, ada sekitar 4060 Hektar Are (Ha) lahan ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Margasatwa Tanjung Batikolo yang terdapat di Desa Kalo-kalo, Kecamatan Lainea, Konsel.

Hal itu berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 425/KptsII/1995 tanggal 16 Agustus 1995 dengan luas 4.060 ha.

“Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Batikolo, Sebelah timur berbatasan dengan Selat Buton, Sebelah selatan berbatasan dengan Teluk Kolono dan Sebelah barat berbatasan dengan Desa Polewali,”kata Sakri.

Sakri menerangkan, terkait adanya penolakan masyarakat terhadap penetapan status kawasan konservasi tersebut, pihaknya sudah beberapa kali melakukan sosialisasi.

BACA JUGA : Ratusan Hektar Lahan Warga Desa Kalo-kalo Konsel Terancam Hilang Usai Diklaim BKSDA

“Kami sudah beberapa kali lakukan dialog bersama masyarakat setempat untuk mencarikan solusi terkait persoalan lahan tersebut.Kami menawarkan kemitraan konservasi, maksudnya kita akan mendukung kegiatan pertanian masyakarat dengan program bantuan. Kalau masalah lahan digarap oleh masyarakat silahkan dilanjutkan, tidak ada maksud untuk dikuasai oleh BKSDA, ini hanya soal penetapan status kawasan konservasi saja,” jelasnya.

“Program kemitraan yang dimaksud seperti, kegiatan pemulihan ekosistem penanaman,kalau mereka punya usaha kita berikan bantuan, kalau dia nelayan kita berikan bantuan alat tangkap. Tetapi merepa tidak mau karena ingin memiliki lahan tersebut,” sambungnya.

Lanjut Sakri, jika masyarakat menolak terkait penetepan status kawasan konservasi itu, ia meminta agar ajukan gugatan di Pengadilan agar terang benderang melalui proses hukum. Hal itu ia usulkan agar tidak terjadi perdebatan kusir dan saling klaim antar masyarakat dan BKSDA.

“Yang sudah ini kalau masyarakat disana hanya katanya-katanya sudah tinggal sejak puluhan tahun yang lalui diatas lahan terebut. Olehnya itu, cara baik jika memang masih menolak silahkan ajukan gugatan di Pengadilan, untuk menghindari konflik secara berkepanjangan,” ucapnya.

Salah satu kalan perkebunan warga masuk kawasan Konservasi BKSDA Sultra

Sejarah Konflik Tenurial Versi BKSDA Sultra Soal Status Lahan Konservasi di Desa Kalo-kalo :

Pada tahun 1990 terdapat program Penanaman Hutan TanamanIndustri berupa tanaman Jati (Tectona grandis) dari Pemerintah melaluisaat itu, Kantor wilayah (Kanwil) Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara disekitar kawasan SM. Tanjung Batikolo.

Program tersebut melibatkan masyarakat dari etnis Muna, Bone dan Bulukumba sebagai pekerja. Bahkan Pekerja didatangkan langsung dari kabupaten Muna, Bulukumba dan Bone untuk melakukan penanaman. Hal ini berdasarkan keterangan dari Muhammad Zaid (Eks Juru Ukur dan Mandor Tanaman HTI 1989- 1994).

Karena kebutuhan akan pemukiman dan lahan pertanian, masyarakat saat itu menganggap wilayah SM. Tanjung Batikolo tersebut tidak bertuan dan berminat menempatinya dan tidak mengetahui bahwa lokasi yang ditempati adalah kawasan Konservasi SM Tanjung Batikolo.

kemudian saat dilakukan rekontruksi pal batas pada tahun 1999 oleh petugas, barulah kemudian masyarakat yang menempati kawasan SM.Tanjung Batikolo mengetahui dan menyadari bahwa yang mereka tempati adalah kawasan konservasi yang merupakan tanah negara.

Saat itu terdapat 12 Kepala Keluarga yang kemudian sampai saat ini berkembang menjadi sebuah perkampungan dan berdiri sebuah desa administratif dengan nama Desa Kalo-Kalo.

Reporter. Wayan Sukanta

error: Dilarang Keras Copy Paste!