Tanah Angata: Ketika Negara Tidak Lagi Berdiri di Pihak Rakyat
Upaya mediasi telah dilakukan oleh pemerintah daerah, yang menghasilkan kesepakatan pada Oktober dan Agustus 2023. Intinya, perusahaan dilarang melakukan aktivitas di atas lahan seluas 1.300 hektare sebelum status kepemilikan diselesaikan sesuai hukum.
Namun kesepakatan ini diabaikan. Negara kembali gagal menegakkan peraturan yang dibuatnya sendiri.
Ironisnya, keberpihakan negara justru tampak kabur. Kementerian ATR/BPN melalui Kanwil Sulawesi Tenggara bahkan disebut-sebut terlibat dalam pengukuran sepihak di atas lahan yang masih disengketakan.
Surat permohonan pencekalan penerbitan HGU oleh masyarakat melalui organisasi Framathal-Bersatu diabaikan, meski telah mendapat atensi dari Direktorat Jenderal PPHTR.
Negara dan Keadilan yang Terpinggirkan
Padahal, dalam kerangka hukum nasional, konflik ini seharusnya menjadi perhatian utama dalam agenda Reforma Agraria.
Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, PP No. 20 Tahun 2021, serta Permen ATR/BPN No. 20 Tahun 2021, menegaskan pentingnya penertiban tanah terlantar dan perlindungan bagi tanah-tanah yang telah digarap rakyat secara konsisten lebih dari 20 tahun.


Tinggalkan Balasan