News

Sempat Dikaitkan dengan Megathrust, Begini Penjelasan BMKG Yogyakarta Soal Gempa Gunungkidul

×

Sempat Dikaitkan dengan Megathrust, Begini Penjelasan BMKG Yogyakarta Soal Gempa Gunungkidul

Sebarkan artikel ini
Gempa Gunungkidul
Sempat Dikaitkan dengan Megathrust, Begini Penjelasan BMKG Yogyakarta Soal Gempa Gunungkidul

METROKENDARI.COM – Gempa bumi yang terjadi di Gunungkidul tadi malam membuat publik mengaitkannya dengan aktivitas megathrust, atau gempa bumi berskala besar yang belakangan ini menjadi pembahasan. Begini penjelasan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Koordinator Tim Observasi Stasiun Geofisika BMKG DIY, Budiarta, menuturkan bahwa selatan perairan laut Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat zona tumbukan lempeng. Tepatnya antara lempeng Indo Australia dengan lempeng Eurasia. Sehingga potensi megathrust memang bisa terjadi sewaktu-waktu.

“Memang daerah kita atau wilayah kita itu memang dilalui ya (lempeng). Tempat di mana jarak dari pertemuan lempeng sekitar 200 kilometer dari pesisir pantai perlu diwaspadai. Di situ yang sekarang lagi ngetren adalah megathrust atau patahan naik dengan kekuatan besar,” jelasnya saat ditemui di Kantor Stasiun Geofisika BMKG DIY, Gamping, Sleman, Selasa (27/8/2024).

Budi menuturkan, bentangan pertemuan kedua lempeng benua sangatlah luas. Terbentang dari sisi Barat Pulau Sumatera hingga perairan Nusa Tenggara Timur sisi selatan ke utara. Titik akhir pertemuan lempeng ini berakhir di kawasan Maluku.

Berdasarkan data ini, Budi memastikan bahwa perairan DIY termasuk dalam daerah tumbukan lempeng benua. Tepatnya dari perairan laut selatan Kulon Progo hingga perairan selatan Gunungkidul. Alhasil, gempa dengan beragam kekuatan berpotensi terjadi setiap waktunya.

“Pertemuan lempeng Indo Australia dan Eurasia ini sebenarnya memanjang dari barat Pulau Sumatera kemudian ke selatan kemudian sampai ke selat Sunda, selat Sunda ke timur sampai ke Bali, Bali ke NTT, NTT terus langsung ke utara daerah Maluku,” katanya.

Untuk kemunculan tsunami, Budi memastikan tidak dalam setiap kejadian gempa tektonik. Setidaknya, diperlukan gempa berkekuatan di atas magnitudo 7. Kondisi ini lalu memunculkan patahan di kawasan dasar lautan.

Kemunculan tsunami juga kerap ditandai dengan surutnya air laut. Jaraknya tak berselang lama pascaterjadi gempa bumi di kawasan perairan laut. Di satu sisi juga upaya mitigasi telah dilakukan bersama stakeholder terkait.

“Untuk kejadian karena potensi-potensi yang bergempa yang berpotensi tsunami ini ada beberapa kriteria dengan kekuatan magnitudo di atas 7. Disusul adanya deformasi bentuk patahan naik atau patahan turun ya, kemudian kalau secara fisik di laut atau di pesisir pantai ini bisa melihat adanya kecenderungan air laut surut setelah gempa,” jelasnya.

Walau begitu, Budi meminta masyarakat untuk tidak panik. Apalagi, pihaknya akan terus menginformasikan kejadian gempa secara realtime.

Termasuk, jika ada gempa laut yang berpotensi memunculkan gelombang tsunami agar masyarakat bisa segera melakukan evakuasi apabila muncul peringatan darurat.

“Langsung kita share ke masyarakat kurang dari 5 menit. Publikasi dengan 12 moda informasi dengan internet. Melalui aplikasi Info BMKG yang dari Android kemudian Instagram kemudian telepon kemudian ada HT juga,” katanya.

Gempa Kekuatan Menengah di Zona Megathrust

Sementara itu, Direktur The Ekliptika Institute Marufin Sudibyo, mengategorikan gempa Gunungkidul dengan kekuatan menengah. Menurut catatan BMKG gempa itu memiliki kekuatan magnitudo 5,5 dengan kedalaman titik episentrum 45 kilometer. Sementara jarak dari lokasi episentrum gempa berada dalam zona megathrust.

error: Dilarang Keras Copy Paste!