Atas rencana itu, terdakwa Terang Ukoras Sambiring menyerahkan semua tanggung jawab ke terdakwa Rahmat.
Padahal, terdakwa Terang Ukoras Sambiring mengetahui dan dapat memastikan bahwa terdakwa Rahmat bukanlah penyedia jasa spesial jembatan, dan juga pengalihan pekerjaan dilakukan tanpa persetujuan Dinas SDA dan Bina Marga.
“Perbuatan tersebur bertentangan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,” isi dalam surat dakwaan.
Hingga pada akhirnya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas SDA dan Bina Marga Sultra menerbitkan surat penunjukan penyedia barang/jasa (SPPBJ), dan dilakukan penandatanganan kontrak pada 21 Mei 2021 dengan CV Bela Anoa.
Tapi ternyata terdakwa Direktur CV Bela Anoa mengarahkan terdakwa Rahmat untuk tampil menandatangani kontrak. Padahal, terdakwa juga mengetahui jika terdakwa Rahmat bukan pegawai atau pengurus CV Bela Anoa.
Hal ini tentu bertentangan dengan Permen PUPR Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi.
Setelah dinyatakan CV Bela Anoa jadi pemenang tender, Rahmat dan Terang bersama-sama menyediakan kelengkapan dokumen jaminan uang muka 30 persen sebesar Rp612 juta melalui surat permohonan ke PPK pada 24 Juni 2021.
Baca Juga
Atas dasar itu saksi Burhanuddin selaku Kepala Dinas SDA dan Bina Marga merangkap Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan PPK memproses dan membayar uang muka 30 persen melalui BPD Sultra yang ditransfer ke rekening CV Bela Anoa.
Terdakwa Rahmat kemudian memberikan fee perusahaan kepada terdakwa Terang senilai Rp50 juta dari sisa pencairan uang muka, setelah potong pajak.
Namun belakangan, uang muka yang dicairkan tersebut, tidak diperuntukkan untuk persiapan pembangunan Jembatan Cirauci II Butur, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi. Akibatnya membuat pekerjaan terlambat yang mestinya ditargetkankan mencapai 76,06 persen dari rencana awal, hanya 2,40 persen.
Diketahui bobot pengerjaan hanya 2,40 persen, CV Bela Anoa mendapat teguran selama tiga kali berturut-turut dari saksi Burhanuddin, dan melakukan rapat pembuktian sebanyak tiga untuk penyelesaian keterlambatan. Adapun alasan keterlambatan pengerjaan Jembatan Cirauci II Butur, dikarenakan peralatan yang kurang, pengambilan sampel lambat, kondisi cuaca dan lain sebagainya (terlampir), sehingga menyebabkan keterlambatan terus menerus.
“Berdasarkan syarat-syarat umum kontrak, dinyatakan kritis apabila
dalam periode I, selisih pelaksanaan dengan rencana lebih besar 10 persen, penyedia jasa telah gagal pada uji coba ke-3. Seharusnya saksi Burhanuddin selaku PPK menerbitkan peringatan kontrak kritis III, dan dapat melakukan pemutusan kontrak secara sepihak, namun itu tidak dilakukannya (Saksi Burhanuddin),” penjelasan yang dikutip dari surat dakwaan.
Selanjutnya, jelang berakhirnya kontrak pekerjaan Jembatan Cirauci II Butur pada 17 Oktober 2021, terdakwa Terang ajukan permohonan perpanjangan pelaksanaan pekerjaan selama 57 hari kalender, terhitung sampai 13 Desember 2021.
Saksi Burhanuddin lalu memerintahkan panitia peneliti pelaksanaan kontrak...